Pada masa kerajaan majapahit tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra atau Dang hyang Nirarta. Beliau dekenal dalam penyebaran ajaraan agama hindhu dengan nama “Dharma Yatra”, di lombok beliau dikenal disebut “Tuan Semeru” atau guru dari semeru sebuah nama gunung di Jawa Timur.
Pada waktu beliau datang ke Bali untuk menjalankan misinya yang berkuasa di Bali pada saat itu adalah Raja Dalem Waturenggong yang menyambut beliau dengan sangat hormat. Beliau menyebarkan agama sampai ke pelosaok-pelosak pulau Bali, disebutkan saat beliau menjalankan “Dharma Yatra” di Rambut Siwi, beliau melihat sinar suci dari arah tenggara dan mengikuti sampai pada sumbernya yang ternyata adalah sebuah sumber mata air.
Tidak jauh dari tempat mata air itu beliau menemukan sebuah tempat yang sangat indah yang disebut “gili beo” (gili artinya batu karang , Beo artinya burung) jadi itu adalah sebuah batukarang yang berbentuk burung. Ditempat inilah beliau melakukan meditasi dan melakukan pemujaan terhadap Dewa pengguasa laut.
Lokasi tempat batukarang ini termasuk dalam daerah desa beraban, dan beliau mulai menyebarkan ajarannya kepada penduduk desa beraban, dimana didesa tersebut dikepalai oleh seorang pemimpin suci yang disebut”Bendesa Beraban Sakti”. Sebelumnya masyarakat desanya beraban menganut ajaran momotheisme dalam waktu singkat banyak masyarakat beraban mengikuti ajaran Dang Hyang Nirarta yang kemudian membuat bendesa beraban sangat marah dan mengajak pengikutnya yang masih setia untuk mengusir bhagawan suci ini.
Dengan kekuatan sepiritual yang dimiliki, Dang Hyang Nirarta melindungi diri dari serangan bendesa beraban dengan memindahkan batukarang besar tempat beliau bermeditasi ke tengah lautan dan menciptakan banyak ular dengan selendangnya di sekitar batu karang sebagai pelindung dan penjaga tempat tersebut. Kemudian beliau memberi nama ” Tengah Lot” yang berarti Tanah di tengah Laut. Akhirnya Bendesa Beraban mengakui kesaktian dan kekuatan spiritual dari Danghyang Nirarta, dan menjadi pengikut setia dan ikut menyebarkan ajaran itu kepada penduduk setempat. Sebagai tanda terima kasih sebelum melanjutkan perjalanan beliau memberikan sebuah keris suci yang dikenal dengan nama ” Jaramenara/ Ki Baru Gajah” kepada Bendesa Beraban. Saat ini keris itu disimpan di Puri Kediri yang sangat dikeramatkan dan diupacarai setiap hari raya kuningan. Upacara di Pura tanah lot setiap 210 hari sekali yakni pada”Buda Wage Langkir” sesuai dengan penanggalan kalender Bali.
Komentar
Posting Komentar